Jumat, 14 September 2012

Dampak Pemilihan Kepala Daerah Provinsi / Gubernur oleh DPRD

Mendagri Gamawan Fauzi membuat wacana pemilihan Kepala Daerah Provinsi / Gubernur oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Perubahan cara pemilihan gubernur, dilakukan dengan alasan penghematan anggaran dan ide dasar otonomi daerah, sesuai dengan Unda

Kita lihat, dalam ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 parubahan kedua, menyatakan: Gubernur, Bupati, dan Wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
Pemilihan Gubernur oleh DPRD berkemungkinan akan lebih efisien dilihat dari segi anggaran dibanding pemilihan secara langsung seperti yang telah dilakukan selama ini.

Kalau kita cermati ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tersebut, pengertian dipilih secara demokratis adalah dipilih langsung oleh rakyat maupun melalui DPRD. Selain itu, tata cara pemilihan Kepala Daerah Provinsi / Gubernur oleh DPRD juga tidak menyalahi UUD 1945

Terhadap perubahan cara pemilihan, harusnya tidak hanya dicermati dari teknis pemilihan saja, akan tetapi harus ada revisi atas sejumlah kewenangan Pemerintahan provinsi.

Selain wacana perubahan cara pemilihan yang dilontarkan oleh
Mendagri, seharusnya Mendagri memberikan masukan juga, agar DPR membuat perubahaan terhadap UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, karena terkait dengan perubahan kewenangan kepala Daerah Provinsi / Gubernur.
Kenyataan sampai sekarang, Gubernur sebagai Kepala Daerah Provinsi hanya merupakan kepanjangan tangan dari kebijaksanaan yang ditetapkan pemerintahan pusat.

Kalau kita lihat Pilkada secara langsung oleh rakyat, dapat
menyuburkan korupsi di tengah masyarakat, dengan adanya politik uang/ money politics yang dilakukan oleh balon maupun tim kampanye.Selain itu balon tidak segan-segan mengumbar janji yang pada akhirnya hanya iming-iming sesaat untuk mendapatkan suara terbanyak, dari masyarakat sebagai konstituennya.
Jika calon merupakan seseorang yang dikenal masyarakat hanya berdasarkan ketenarannya, mungkin berasal dari kalangan pesohor (artis sinetron/layar lebar, penyanyi, atau pelawak),
maka otomatis akan memperoleh suara yang banyak. Apalagi, calon direkomendasikan oleh Parpol yang hanya memikirkan perolehan suara saja, tanpa memikirkan kualitas dan profesionalitas calon.

Menjadi pertanyaan kita, apabila calon hanya mengandalkan ketenaran semata, maka apabila kelak dia terpilih menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah apakah ia mampu menjalankan aktivitas sebagai aparatur pemerintah daerah sesuai dengan amanat UUD 1945?
Kecemasan dan kegalauan terhadap calon yang berasal dari pesohor atau independen dapat mengurangi kinerja dan semangat dari internal instansi pemda, yang sudah berbakti puluhan tahun kepada bangsa dan negara.
Sebagai contoh, pemilihan Dirut PLN Dahlan Iskan (yang berasal dari eksternal), awal masa tugasnya menuai demo dari pegawai PLN itu sendiri dan ruang kantor disegel oleh serikat pekerja.
Bila kasus serupa dibiarkan berlarut-larut, maka penolakan dalam bentuk demo akan terjadi pula pada hasil Pilkada Provinsi, termasuk Kabupaten dan Kota. Hingga, persoalan demi persoalan tidak akan habis terkait dengan Pilkada.

Menurut penulis, Pilkada Kabupaten dan Kota yang akan berlangsung dalam tahun 2010 ini, akan menuai banyak persoalan, Mahkamah Konsitusi akan dibanjiri dengan sengketa Pemilihan Umum termasuk dalam hal ini sengketa Pemilihan Kepala Daerah ( Pilkada).
Solusi, sebaiknya wacana yang dilontarkan oleh Mendagri untuk
melakukan Pemilihan Kepala Daerah Provinsi / Gubernur oleh DPRD harus dipelajari secermat mungkin terhadap dampak yang akan terjadi.

Jika wacana ini merupakan program 100 hari Mendagri. Mestinya,
Mendagri mengimplementasikannya, dan bukan sekedar wacana, karena negeri ini membutuhkan realisasi.
Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar