Selasa, 25 September 2012

Hindarkan Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jawa Barat berharap, tidak satupun penyelenggara Pemilu di Jawa Barat terkena permasalahan yang berkaitan dengan Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Tidak kecuali di verifikasi faktual Parpol calon peserta Pemilu dan disemua tahapan penyelenggaraan Pemilu, baik di Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden maupun Pemilu Kepala Daerah.

“Kita KPU Jabar inginnya nol, tidak satupun penyelenggara Pemilu di Jawa Barat terkena permasalahan yang berkaitan kode etik,” Kata Komisioner KPU Prov Jabar, Teten Setiawan dalam arahannya pada Rapat Koordinasi dengan jajaran KPU Kabupaten/Kota se Jawa Barat, persiapan verifikasi faktual keanggotaan Partai Politik (Parpol) di wilayah Prov Jabar calon peserta Pemilu 2014, di Hotel Horison, Jalan Pelajar Pejuang Bandung, Senin (24/9).

Kode etik Penyelenggara Pemilu, dikatakannya merupakan seperangkat prinsip moral atau nilai yang digunakan sebagai pedoman tingkah laku penyelenggara pemilu. Nilai tentang baik atau buruk yang terkait pelaksanaan hak dan kewajiban sebagai penyelenggara pemilu. Ketidak cermatan, bisa terjaring dan dinyatakan melanggar terhadap sumpah dank ode etik penyelenggara Pemilu.

Ditandaskan Teten, apa yang sudah digariskan baik dalam sumpah/janji penyelenggara Pemilu dan dalam amanat Peraturan Bersama mengenai kode etik penyelengara Pemilu, KPU Kabupaten/Kota pentingnya benar-benar memahami sehingga kedepan tidak ada perbuatan aneh sebagai tindaka pelanggaran kode etik. Terkait ini, KPU Jawa Barat menjamin untuk konsisten menjaga netralitas. Pernyataan sikap tegas KPU Jabar, terkait adanya kekhawatiran yang mengasumsikan, pencalonan dari unsur perseorangan bisa dimainkan. Dimainkan untuk mengganggu calon yang kuat dan memenangkan atau mendukung calon yang lain.
“Saya tegaskan itu. Netralitas itu bisa diukur.  Kami komit untuk melaksanakan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, terhadap sumpah dan janji, dan terhadap kode etik. Kalau ada perbuatan aneh, biasanya itu yang menyimpang,” ujar Teten.

Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu, dikatakannya sebagai pelanggaran terhadap etika Penyelenggara Pemilu. Etika yang berpedoman kepada sumpah/janji sebelum menjalankan tugas sebagai Penyelenggara Pemilu. Prinsip dasarnya, mentaati peraturan perundang-undangan, non partisan dan netral, transparan dan akuntabel, melayani pemilih menggunakan hak pilih, serta tidak melibatkan diri dalam konflik kepentingan.

Berkenaan pelanggaran administrative Pemilu, diakuinya hingga kini pihaknya belum mendapat gambaran pasti apa yang dimaksud dengan pelanggaran administrasi. Pelanggaran administrasi Pemilu, dipahami sebagai pelanggaran tata cara, prosedur dan mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan Pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu diluar tindak pidana Pemilu dan kode etik penyelenggara Pemilu. “Definisinya seperti itu. Penyelesaian pelanggaran administratif, KPU Provinsi, KPU Kabupaten dan Kota wajib melaksanakan rekomendasi Bawaslu. Pelanggaran administrasi Pemilu, KPU yang menyelesaikan,”.

Terkait Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat, dikatakannya, komitmen KPU Provinsi Jawa Barat khususnya dalam rangka supervisi  dan monitoring terhadap penyelenggaraan Pemilu Kada, bagaimana melakukan pencegahan pelanggaran dan mengatasi persoalan sengketa tidak sampai ke Mahkamah Konstitusi. “Kalaupun sampai ke MK, dan putusan MK mengabulkan, jangan sampai KPU ikut terbawa-bawa.  Kita ingin, minimal tidak ada gugatan ke MK,”.

Teten juga mengingatkan, KPU Kabupaten dan Kota untuk kembali memahami perannya yang pokok sebagai bagian dari KPU RI.  Tidak terjebak dan lebih konsentrasi pada Pemilu Kepala Daerah, seolah-olah berdiri sendiri sebagai otorisator Pemilu Kada. Sementara amanat Undang Undang dan amanat Peraturan KPU, juga pesan lisan para Komisioner di Jakarta, tegas menyatakan KPU Provinsi,KPU Kabupaten dan KPU Kota adalah penyelenggara Pemilu Legislatif  dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
   
Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu jadi focus dan menarik dibicarakan, karena kini menurutnya sudah ada fenomena politik luar biasa, fenomena ketatanegaraan luar biasa sehubungan rencana pembentukan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Lembaga yang nantinya diberi kewenangan untuk membentuk badan ad hoc, melakukan pemeriksaan di Provinsi untuk tingkatan tertentu. Lembaga ini, nantinya akan melibatkan KPU Provinsi, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi yang diangkat menjadi tim pemeriksa ad hoc bersama dengan unsur perguruan tinggi, dimana pimpinannya salah seorang dari DKPP itu sendiri. Padahal sebelumnya sudah enak, KPU Provinsi tidak dibawa-bawa. (MC/KPUJBR)
 

Sumber : Media Center KPU Prov. Jabar

Verifikasi Faktual Parpol Pemilu 2014

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jawa Barat berharap, Verifikasi Partai Politik di Tingkat Kabupaten/Kota lancar, sukses dan tanpa hambatan apapun. Verifikasi di tingkat ini paling menentukan, terutama terkait dengan keanggotaan Parpol calon peserta Pemilu. Karena masih calon, KPU harus menyeleksi, memverifikasi atau memeriksa mereka,  apakah mereka betul-betul punya anggota yang sudah memenuhi syarat atau belum, yakni seribu atau seperseribu per kabupaten/kota. Kalau hasil verifikasi ternyata kurang, terpaksa tidak memenuhi syarat menjadi peserta Pemilu 2014 nanti.

Hal ini dikatakan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jawa Barat, Achmad Herry pada Rapat Koordinasi dengan KPU Kabupaten/Kota tentang verifikasi Parpol, di Ruang Sanggabuana Hotel Horison, Jalan Pelajar Pejuang Bandung, Senin (24/9).

Verifikasi faktual, dijelaskan Achmad Herry, secara sampling dilakukan atas data KTA yang diserahkan partai lebih dari 100. Sampel diambil 10% dari data yang diserahkan untuk kemudian diverifikasi dengan metode sampel acak sederhana. Data sampel bersifat kofidential dan pengambilan sampel disupervisi KPU Prov.

Dalam verifikasi Parpol, Achmad Herry mengingatkan, pentingnya KPU Kabupaten/Kota memahami isu verifikasi Parpol yang dikatakannya sebagai hal baru, yakni terkait adanya isu regulasi yang belum detail, perbedaan data wilayah administrasi  & penduduk. Isu lainnya, adalah kepengurusan parpol ganda, format & bentuk KTA, mekanisme verifikasi administrasi KTA oleh KPU & KPU Kab/Kota, pelaksanaan putusan MK, dan ketidakseragaman pemahaman regulasi & pengelolaan kegiatan KPU Provinsi & KPU Kab/Kota.

Terkait isu perbedaan data wilayah administrasi dan penduduk. Perbedaan terjadi, menurutnya disebabkan mutasi kependudukan dan adanya pertambahan jumlah Desa/Kelurahan karena adanya pemekaran. Banyak daerah melaporkan adanya perbedaan ini.  Kebijakan KPU, menghimpun laporan KPU prov/kab/kota, melakukan koordinasi dengan Kemdagri.  Apabila Kemdagri tidak melakukan perubahan berdasarkan data Pemda, KPU menggunakan data dengan jumlah wilayah administrasi /penduduk paling kecil.

Mengenai syarat keanggotaan Parpol 1.000 atau 1/1000 dari jumlah penduduk, dijelaskannya itu adalah pilihan. Ini sangat tergantung atau diserahkan dan menjadi domain Parpol, bukan urusan KPU. Halnya dengan KTA, tidak ada standar atau format yang distandarisasikan KPU. Terserah Parpol maunya seperti apa. Terpenting ada nomor urut keanggotaan, nama, umur dan alamat. Ada pas photo atau tidak, siapa yang menandatangani KTA disesuaikan AD/ART masing-masing.

Bila dalam verifikasi faktual terdapat kepengurusan ganda, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota berpedoman pada dokumen yang telah diverifikasi secara administratif oleh KPU Pusat. Bukan berpedoman kepada susunan pengurus yang dilaporkan pengurus di tingkat kabupaten/kota. Karenanya tidak ada pendaftaran Parpol di KPU Prov maupun di KPU Kabupaten/Kota.  “Yang kita pakai, adalah hasil verifikasi dari Pusat,” ujarnya.

Achmad Herry menjelaskan, status pengurus Pelaksana tugas (Plt), Pelaksana harian (Plh), caretaker dsb, KPU Provinsi berpedoman pada AD/ART Parpol berdasar hasil verifikasi administrative KPU Pusat. “Kalau secara administrative sudah memenuhi syarat, AD/ART nya membenarkan adanya Plt, Plh dan Caretaker, dan secara administratif juga sudah diangggap sah memenuhi syarat oleh KPU, Kita memeriksanya disini secara faktual, berdasarkan itu,” jelasnya.

Verifikator wajib memakai ID Card KPU/Verifikator dan membawa surat tugas. Selain membawa berbagai blangko untuk verifikasi faktual, verifikator juga harus menunjukkan rasa hormat kepada pihak-pihak yang diverifikasi, menerangkan maksud kedatangan, menjaga rahasia responden anggota partai yang akan di sampling.
Verifikator juga dilarang, mengucapkan kata-kata yang tidak sopan, menerima sesuatu apapun dari yang bersangkutan, memberikan janji-janji, memberikan informasi yang tidak perlu, menanyakan sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya dengan materi verifikasi.

Terkait verifikasi faktual ini, KPU Provins Jabar telah membentuk Pokja Verifikasi Faktual, memberikan pembekalan kepada petugas verifikasi & membuat kartu identitas petugas verifikasi, melakukan rakor dengan KPU kab/kota untuk bimtek verifikasi faktual kepengurusan & keanggotaan parpol. Akan dilakukan pula raker pengambilan/pencuplikan sampel, melakukan verifikasi faktual, melakukan rapat pleno terbuka hasil verifikasi faktual tingkat provinsi, melakukan rapat pleno terbuka rekapitulasi hasil verifikasi faktual tingkat kab/kota, supervisi & monitoring pelaksanaan tugas KPU kab/kota, serta menyampaikan laporan pelaksanaan tugas kepada KPU.(MC/KPUJBR).

Sumber : Media Center KPU Prov. Jabar | File : | Dibaca : 110 x

Pemilu 1999

Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998 jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan publik, Pemilu yang baru atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru.

Ini berarti bahwa dengan pemilu dipercepat, yang terjadi bukan hanya bakal digantinya keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai masa kerjanya, tetapi Presiden Habibie sendiri memangkas masa jabatannya yang seharusnya berlangsung sampai tahun 2003, suatu kebijakan dari seorang presiden yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Sebelum menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draft UU ini disiapkan oleh sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta).
Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil dari pemerintah. Satu hal yang secara sangat menonjol membedakan Pemilu 1999 dengan Pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah Pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak sekali peserta. Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta Pemilu kali ini adalah 48 partai. Ini sudah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah partai yang ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai.
Dalam sejarah Indonesia tercatat, bahwa setelah pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, pemerintahan Reformasi inilah yang mampu menyelenggarakan pemilu lebih cepat setelah proses alih kekuasaan. Burhanuddin Harahap berhasil menyelenggarakan pemilu hanya sebulan setelah menjadi Perdana Menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, meski persiapan-persiapannya sudah dijalankan juga oleh pemerintahan sebelum-nya. Habibie menyelenggarakan pemilu setelah 13 bulan sejak ia naik ke kekuasaan, meski persoalan yang dihadapi Indonesia bukan hanya krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi, sosial dan penegakan hukum serta tekanan internasional.
Hasil Pemilu 1999
Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada Pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal, yakni tanggal 7 Juni 1999. Tidak seperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya, ternyata Pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti. Hanya di beberapa Daerah Tingkat II di Sumatera Utara yang pelaksanaan pemungutan suaranya terpaksa diundur suara satu pekan. Itu pun karena adanya keterlambatan atas datangnya perlengkapan pemungutan suara.
Tetapi tidak seperti pada pemungutan suara yang berjalan lancar, tahap penghitungan suara dan pembagian kursi pada Pemilu kali ini sempat menghadapi hambatan. Pada tahap penghitungan suara, 27 partai politik menolak menandatangani berita acara perhitungan suara dengan dalih Pemilu belum jurdil (jujur dan adil). Sikap penolakan tersebut ditunjukkan dalam sebuah rapat pleno KPU. Ke-27 partai tersebut adalah sebagai berikut:
Partai yang Tidak Menandatangani Hasil Pemilu 1999.
Nomor
Nama Partai
1.
Partai Keadilan
2.
PNU
3.
PBI
4.
PDI
5.
Masyumi
6.
PNI Supeni
7.
Krisna
8.
Partai KAMI
9.
PKD
10.
PAY
11.
Partai MKGR
12.
PIB
13.
Partai SUNI
14.
PNBI
15.
PUDI
16.
PBN
17.
PKM
18.
PND
19
PADI
20.
PRD
21.
PPI
22.
PID
23.
Murba
24.
SPSI
25.
PUMI
26
PSP
27.
PARI
Karena ada penolakan, dokumen rapat KPU kemudian diserahkan pimpinan KPU kepada presiden. Oleh presiden hasil rapat dari KPU tersebut kemudian diserahkan kepada Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu). Panwaslu diberi tugas untuk meneliti keberatan-keberatan yang diajukan wakil-wakil partai di KPU yang berkeberatan tadi. Hasilnya, Panwaslu memberikan rekomen-dasi bahwa pemilu sudah sah. Lagipula mayoritas partai tidak menyertakan data tertulis menyangkut keberatan-keberatannya. Presiden kemudian juga menyatakan bahwa hasil pemilu sah. Hasil final pemilu baru diketahui masyararakat tanggal 26 Juli 1999.
Setelah disahkan oleh presiden, PPI (Panitia Pemilihan Indonesia) langsung melakukan pembagian kursi. Pada tahap ini juga muncul masalah. Rapat pembagian kursi di PPI berjalan alot. Hasil pembagian kursi yang ditetapkan Kelompok Kerja PPI, khususnya pembagian kursi sisa, ditolak oleh kelompok partai Islam yang melakukan stembus accoord. Hasil Kelompok Kerja PPI menunjukkan, partai Islam yang melakukan stembus accoord hanya mendapatkan 40 kursi. Sementara Kelompok stembus accoord 8 partai Islam menyatakan bahwa mereka berhak atas 53 dari 120 kursi sisa.
Perbedaan pendapat di PPI tersebut akhirnya diserahkan kepada KPU. Di KPU perbedaan pendapat itu akhirnya diselesaikan melalui voting dengan dua opsi. Opsi pertama, pembagian kursi sisa dihitung dengan memperhatikan suara stembus accoord, sedangkan opsi kedua pembagian tanpa stembus accoord. Hanya 12 suara yang mendukung opsi pertama, sedangkan yang mendukung opsi kedua 43 suara. Lebih dari 8 partai walk out. Ini berarti bahwa pembagian kursi dilakukan tanpa memperhitungkan lagi stembus accoord.
Berbekal keputusan KPU tersebut, PPI akhirnya dapat melakukan pembagian kursi hasil pemilu pada tanggal 1 September 1999. Hasil pembagian kursi itu menunjukkan, lima partai besar memborong 417 kursi DPR atau 90,26 persen dari 462 kursi yang diperebutkan.
Sebagai pemenangnya adalah PDI-P yang meraih 35.689.073 suara atau 33,74 persen dengan perolehan 153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44 persen sehingga mendapatkan 120 kursi atau kehilangan 205 kursi dibanding Pemilu 1997. PKB dengan 13.336.982 suara atau 12,61 persen, mendapatkan 51 kursi. PPP dengan 11.329.905 suara atau 10,71 persen, mendapatkan 58 kursi atau kehilangan 31 kursi dibanding Pemilu 1997. PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen, mendapatkan 34 kursi. Di luar lima besar, partai lama yang masih ikut, yakni PDI merosot tajam dan hanya meraih 2 kursi dari pembagian kursi sisa, atau kehilangan 9 kursi dibanding Pemilu 1997. Selengkapnya hasil perhitungan pembagian kursi itu seperti terlihat dalam tabel di bawah.
No.
Nama Partai
Suara DPR
Kursi Tanpa SA
Kursi Dengan SA
1.
PDIP
35.689.073
153
154
2.
Golkar
23.741.749
120
120
3.
PPP
11.329.905
58
59
4.
PKB
13.336.982
51
51
5.
PAN
7.528.956
34
35
6.
PBB
2.049.708
13
13
7.
Partai Keadilan
1.436.565
7
6
8.
PKP
1.065.686
4
6
9.
PNU
679.179
5
3
10.
PDKB
550.846
5
3
11.
PBI
364.291
1
3
12.
PDI
345.720
2
2
13.
PP
655.052
1
1
14.
PDR
427.854
1
1
15.
PSII
375.920
1
1
16.
PNI Front Marhaenis
365.176
1
1
17.
PNI Massa Marhaen
345.629
1
1
18.
IPKI
328.654
1
1
19.
PKU
300.064
1
1
20.
Masyumi
456.718
1
-
21.
PKD
216.675
1
-
22.
PNI Supeni
377.137
-
-
23
Krisna
369.719
-
-
24.
Partai KAMI
289.489
-
-
25.
PUI
269.309
-
-
26.
PAY
213.979
-
-
27.
Partai Republik
328.564
-
-
28.
Partai MKGR
204.204
-
-
29.
PIB
192.712
-
-
30.
Partai SUNI
180.167
-
-
31.
PCD
168.087
-
-
32.
PSII 1905
152.820
-
-
33.
Masyumi Baru
152.589
-
-
34.
PNBI
149.136
-
-
35.
PUDI
140.980
-
-
36.
PBN
140.980
-
-
37.
PKM
104.385
-
-
38.
PND
96.984
-
-
39.
PADI
85.838
-
-
40.
PRD
78.730
-
-
41.
PPI
63.934
-
-
42.
PID
62.901
-
-
43.
Murba
62.006
-
-
44.
SPSI
61.105
-
-
45.
PUMI
49.839
-
-
46
PSP
49.807
-
-
47.
PARI
54.790
-
-
48.
PILAR
40.517
-
-
Jumlah
105.786.661
462
462
Catatan:
  1. Jumlah suara partai yang tidak menghasilkan kursi mencapai 9.700.658. atau 9,17 persen dari suara yang sah.
  2. Apabila pembagian kursi dilakukan dengan sistem kombinasi jumlah partai yang mendapatkan kursi mencapai 37 partai dengan jumlah suara partai yang tidak menghasilkan kursi hanya 706.447 atau 0,67 persen dari suara sah.
Cara pembagian kursi hasil pemilihan kali ini tetap memakai sistem proporsional dengan mengikuti varian Roget. Dalam sistem ini sebuah partai memperoleh kursi seimbang dengan suara yang diperolehnya di daerah pemilihan, termasuk perolehan kursi berdasarkan the largest remainder.
Tetapi cara penetapan calon terpilih berbeda dengan Pemilu sebelumnya, yakni dengan menentukan ranking perolehan suara suatu partai di daerah pemilihan. Apabila sejak Pemilu 1977 calon nomor urut pertama dalam daftar calon partai otomatis terpilih apabila partai itu mendapatkan kursi, maka kini calon terpillih ditetapkan berdasarkan suara terbesar atau terba-nyak dari daerah di mana seseorang dicalonkan. Dengan demikian seseorang calon, sebut saja si A, meski berada di urutan terbawah dari daftar calon, kalau dari daerahnya partai mendapatkan suara terbesar, maka dialah yang terpilih. Untuk cara penetapan calon terpilih berdasarkan perolehan suara di Daerah Tingkat II ini sama dengan cara yang dipergunakan pada Pemilu 1971.
Bagaimanapun penyelenggaraan Pemilu-pemilu tersebut merupakan pengalaman yang berharga. Sekarang, apakah pengalaman itu akan bermanfaat atau tidak semuanya sangat tergantung pada penggunaannya untuk masa-masa yang akan datang. Pemilu yang paling dekat adalah Pemilu 2004. Pengalaman tadi akan bisa dikatakan berharga apabila Pemilu 2004 nanti memang lebih baik daripada Pemilu 1999. Pemilu 1999 untuk banyak hal telah mendapat pujian dari berbagai pihak. Dengan pengalaman tersebut, sudah seharusnyalah kalau Pemilu 2004 mendatang lebih baik lagi.

Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.

Setelah 1971, pelaksanaan Pemilu yang periodik dan teratur mulai terlaksana. Pemilu ketiga diselenggarakan 6 tahun lebih setelah Pemilu 1971, yakni tahun 1977, setelah itu selalu terjadwal sekali dalam 5 tahun. Dari segi jadwal sejak itulah pemilu teratur dilaksanakan.
Satu hal yang nyata perbedaannya dengan Pemilu-pemilu sebelumnya adalah bahwa sejak Pemilu 1977 pesertanya jauh lebih sedikit, dua parpol dan satu Golkar. Ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI) dan satu Golongan Karya atau Golkar. Jadi dalam 5 kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya tiga tadi.
Hasilnya pun sama, Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP dan PDI menjadi pelengkap atau sekedar ornamen. Golkar bahkan sudah menjadi pemenang sejak Pemilu 1971. Keadaan ini secara lang-sung dan tidak langsung membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol Golkar. Pendukung utama Golkar adalah birokrasi sipil dan militer. Berikut ini dipaparkan hasil dari 5 kali Pemilu tersebut secara berturut-turut.
Hasil Pemilu 1977
Pemungutan suara Pemilu 1977 dilakukan 2 Mei 1977. Cara pembagian kursi masih dilakukan seperti dalam Pemilu 1971, yakni mengikuti sistem proporsional di daerah pemilihan. Dari 70.378.750 pemilih, suara yang sah mencapai 63.998.344 suara atau 90,93 persen. Dari suara yang sah itu Golkar meraih 39.750.096 suara atau 62,11 persen. Namun perolehan kursinya menurun menjadi 232 kursi atau kehilangan 4 kursi dibandingkan Pemilu 1971.
Pada Pemilu 1977 suara PPP naik di berbagai daerah, bahkan di DKI Jakarta dan DI Aceh mengalahkan Golkar. Secara nasional PPP berhasil meraih 18.743.491 suara, 99 kursi atau naik 2,17 persen, atau bertambah 5 kursi dibanding gabungan kursi 4 partai Islam dalam Pemilu 1971. Kenaikan suara PPP terjadi di banyak basis-basis eks Masjumi. Ini seiring dengan tampilnya tokoh utama Masjumi mendukung PPP. Tetapi kenaikan suara PPP di basis-basis Masjumi diikuti pula oleh penurunan suara dan kursi di basis-basis NU, sehingga kenaikan suara secara nasional tidak begitu besar.
PPP berhasil menaikkan 17 kursi dari Sumatera, Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan, tetapi kehilangan 12 kursi di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Secara nasional tambahan kursi hanya 5.
PDI juga merosot perolehan kursinya dibanding gabungan kursi partai-partai yang berfusi sebelumnya, yakni hanya memperoleh 29 kursi atau berkurang 1 kursi di banding gabungan suara PNI, Parkindo dan Partai Katolik. Selengkapnya perolehan kursi dan suara tersebut bisa dilihat pada tabel di bawah ini.
No.
Partai
Suara
% Kursi % (1971) Keterangan
1.
Golkar
39.750.096
62,11
232
62,80
- 0,69
2.
PPP
18.743.491
29,29
99
27,12
+ 2,17
3.
PDI
5.504.757
8,60
29
10,08
- 1,48
Jumlah
63.998.344
100,00
360
100,00
 
 Hasil Pemilu 1982
Pemungutan suara Pemilu 1982 dilangsungkan secara serentak pada tanggal 4 Mei 1982. Pada Pemilu ini perolehan suara dan kursi secara nasional Golkar meningkat, tetapi gagal merebut kemenangan di Aceh. Hanya Jakarta dan Kalimantan Selatan yang berhasil diambil Golkar dari PPP. Secara nasional Golkar berhasil merebut tambahan 10 kursi dan itu berarti kehilangan masing-masing 5 kursi bagi PPP dan PDI Golkar meraih 48.334.724 suara atau 242 kursi. Adapun cara pembagian kursi pada Pemilu ini tetap mengacu pada ketentuan Pemilu 1971.
No.
Partai
Suara DPR
%
Kursi
% (1977)
Keterangan
1.
Golkar
48.334.724
64,34
242
62,11
+ 2,23
2.
PPP
20.871.880
27,78
94
29,29
- 1,51
3.
PDI
5.919.702
7,88
24
8,60
- 0,72
Jumlah
75.126.306
100,00
364
100,00
 
 Hasil Pemilu 1987
Pemungutan suara Pemilu 1987 diselenggarakan tanggal 23 April 1987 secara serentak di seluruh tanah air. Dari 93.737.633 pemilih, suara yang sah mencapai 85.869.816 atau 91,32 persen. Cara pembagian kursi juga tidak berubah, yaitu tetap mengacu pada Pemilu sebelumnya.
Hasil Pemilu kali ini ditandai dengan kemerosotan terbesar PPP, yakni hilangnya 33 kursi dibandingkan Pemilu 1982, sehingga hanya mendapat 61 kursi. Penyebab merosotnya PPP antara lain karena tidak boleh lagi partai itu memakai asas Islam dan diubahnya lambang dari Ka'bah kepada Bintang dan terjadinya penggembosan oleh tokoh- tokoh unsur NU, terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Sementara itu Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi. PDI, yang tahun 1986 dapat dikatakan mulai dekat dengan kekuasaan, sebagaimana diindikasikan dengan pembentukan DPP PDI hasil Kongres 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam, berhasil menambah perolehan kursi secara signifikan dari 30 kursi pada Pemilu 1982 menjadi 40 kursi pada Pemilu 1987 ini.
No.
Partai
Suara
%
Kursi
% (1982)
Keterangan
1.
Golkar
62.783.680
73,16
299
68,34
+ 8,82
2.
PPP
13.701.428
15,97
61
27,78
- 11,81
3.
PDI
9.384.708
10,87
40
7,88
+ 2,99
Jumlah
85.869.816
100,00
400
   
Hasil Pemilu 1992
Cara pembagian kursi untuk Pemilu 1992 juga masih sama dengan Pemilu sebelumnya. Hasil Pemilu yang pemungutan suaranya dilaksanakan tanggal 9 Juni 1992 ini pada waktu itu agak mengagetkan banyak orang. Sebab, perolehan suara Golkar kali ini merosot dibandingkan Pemilu 1987. Kalau pada Pemilu 1987 perolehan suaranya mencapai 73,16 persen, pada Pemilu 1992 turun menjadi 68,10 persen, atau merosot 5,06 persen. Penurunan yang tampak nyata bisa dilihat pada perolehan kursi, yakni menurun dari 299 menjadi 282, atau kehilangan 17 kursi dibanding pemilu sebelumnya.
PPP juga mengalami hal yang sama, meski masih bisa menaikkan 1 kursi dari 61 pada Pemilu 1987 menjadi 62 kursi pada Pemilu 1992 ini. Tetapi di luar Jawa suara dan kursi partai berlambang ka’bah itu merosot. Pada Pemilu 1992 partai ini kehilangan banyak kursi di luar Jawa, meski ada penambahan kursi dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Malah partai itu tidak memiliki wakil sama sekali di 9 provinsi, termasuk 3 provinsi di Sumatera. PPP memang berhasil menaikkan perolehan 7 kursi di Jawa, tetapi karena kehilangan 6 kursi di Sumatera, akibatnya partai itu hanya mampu menaikkan 1 kursi secara nasional.
Yang berhasil menaikkan perolehan suara dan kursi di berbagai daerah adalah PDI. Pada Pemilu 1992 ini PDI berhasil meningkatkan perolehan kursinya 16 kursi dibandingkan Pemilu 1987, sehingga menjadi 56 kursi. Ini artinya dalam dua pemilu, yaitu 1987 dan 1992, PDI berhasil menambah 32 kursinya di DPR RI.
No.
Partai
Suara
%
Kursi
% (1987)
Keterangan
1.
Golkar
66.599.331
68,10
282
73,16
- 5,06
2.
PPP
16.624.647
17,01
62
15,97
+ 1,04
3.
PDI
14.565.556
14,89
56
10,87
+ 4.02
Jumlah
97.789.534
100,00
400
100,00
 
 Hasil Pemilu 1997
Sampai Pemilu 1997 ini cara pembagian kursi yang digunakan tidak berubah, masih menggunakan cara yang sama dengan Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, dan 1992. Pemungutan suara diselenggarakan tanggal 29 Mei 1997. Hasilnya menunjukkan bahwa setelah pada Pemilu 1992 mengalami kemerosotan, kali ini Golkar kembali merebut suara pendukungnnya. Perolehan suaranya mencapai 74,51 persen, atau naik 6,41. Sedangkan perolehan kursinya meningkat menjadi 325 kursi, atau bertambah 43 kursi dari hasil pemilu sebelumnya.
PPP juga menikmati hal yang sama, yaitu meningkat 5,43 persen. Begitu pula untuk perolehan kursi. Pada Pemilu 1997 ini PPP meraih 89 kursi atau meningkat 27 kursi dibandingkan Pemilu 1992. Dukungan terhadap partai itu di Jawa sangat besar.
Sedangkan PDI, yang mengalami konflik internal dan terpecah antara PDI Soerjadi dengan Megawati Soekarnoputri setahun menjelang pemilu, perolehan suaranya merosot 11,84 persen, dan hanya mendapat 11 kursi, yang berarti kehilangan 45 kursi di DPR dibandingkan Pemilu 1992.
No.
Partai
Suara
%
Kursi
% (1992)
Keterangan
1.
Golkar
84.187.907
74,51
325
68,10
+ 6,41
2.
PPP
25.340.028
22,43
89
17,00
+ 5,43
3.
PDI
3.463.225
3,06
11
14,90
- 11,84
Jumlah
112.991.150
100,00
425
100,00
 
Pemilu kali ini diwarnai banyak protes. Protes terhadap kecurangan terjadi di banyak daerah. Bahkan di Kabupaten Sampang, Madura, puluhan kotak suara dibakar massa karena kecurangan penghitungan suara dianggap keterlaluan. Ketika di beberapa tempat di daerah itu pemilu diulang pun, tetapi pemilih, khususnya pendukung PPP, tidak mengambil bagian.